Monday, July 6, 2009

Yaa Lathief

“Lathief” sebagai anggota “Dewan Perwakilan Rakyat” dari Partai Asma’ul Husna.

Uqudul Juman berasal dari bahasa arab yaitu uqud dan Juman. “Uqud” merupakan bentuk jamak dari “Aqd” yang artinya ikatan, rangkaian. Sedangkan “juman” merupakan bentuk jamak dari “Jumanah” yang berarti mutiara. Berarti “uqudul Juman” artinya rangkaian mutiara karena memang berbagai bacaan yang terkandung dalam Uqudul Juman adalah merupakan mutiara-mutiara yang tinggi nilainya.

Uqudul Juman adalah kitab kecil yang muatan kandungannya sangat besar dan bermanfaat bagi yang mengamalkannya, merupakan salah satu buah karya KH Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, seorang sufi dari Tasikmalaya.

Mutiara yang terkandung dalam Uqudul Juman antara lain adalah Al-Qur’an misalnya surat Al-Ikhlash, Tahmid dengan membaca Fatihah, Tasbih misalnya “Lailaha illa Anta Subhanaka inni kuntu minadzhalimin” Shalawat misalnya shalawat Ummi, Istighfar, Asma’ul Husna dan lain-lain.

Adapun yang mewakili Asmaul Husna dalam Uqudul Juman adalah kata “Lathief” yang berarti yang Maha Lembut. Rahasia mengapa yang dicantumkan dalam Uqudul Juman adalah kata “Lathief” dan mengapa jumlahnya 16641 yang mengetahui tentunya adalah sang Pengarang. Adapun kita hanya bisa meraba apa rahasia dibalik semua itu.

Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa “Lathief” merupakan ringkasan dari 99 Asma’ul Husna, jadi “Lathief” dapat digunakan untuk mewakili Asma’ul Husna.

Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat tersebut yang jelas “Lathief” mewakili Asma’ul Husna bukan hanya pada Uqudul Juman saja tetapi juga pada wirid lainnya seperti Tahlil, Ilmu Shalawat 44342 dan lain-lain. Di samping itu kalimat yang berada di tengah Al-Qur’an adalah “walyatalatthaf” (dan hendaklah bersikap lembut. Q.S. Al-Kahfi : 19) yang berasal dari akar kata yang sama dengan “Lathief” yaitu “Luthfu”.

Makna “Lathief”

Dalam bahasa Arab jika ada dua kata yang terdiri dari huruf yang sama biasanya memiliki kaitan yang erat. Misalnya kata Ilmu (’ain, lam, mim) dengan amal (’ain, mim, lam). Ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak berbuah, sedangkan amal tanpa ilmu tidak akan sempurna, sehingga ilmu tidak boleh dipisahkan dengan amal. Contoh lain “mar’atun” (artinya perempuan) dengan mir’atun (artinya cermin). Artinya bahwa wanita tidak boleh jauh dari cermin, karena salah satu ciri wanita shalihah adalah jika engkau melihatnya membuatmu senang artinya enak dan tentram dipandang. Contoh lainnya adalah rojulun (laki-laki) dengan rijlun (kaki), seorang lelaki harus mengandalkan kakinya artinya harus dinamis, kreatif dan inovatif, bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah, rajin mencari wawasan, tidak hanya statis dan banyak berdiam di rumah. Sebagaimana tertera dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah ayat 10)

Begitu pula “Luthfun” (lam, tha, fa yang artinya kelembutan) dengan “Thiflun” (tha, fa, lam yang artinya anak bayi) memiliki kaitan yang erat. Artinya bahwa jika kita ingin mengetahui kelembutan, maka lihatlah sikap kita terhadap anak bayi, pasti kita bersikap lembut.

Contohnya jika kita baru saja selesai mengepel lantai lalu anak kita membuang air besar di lantai yang bersih kemudian menangislah ia, maka sikap kita bukannya memarahi anak tersebut tetapi malah memujinya misalnya dengan kata-kata “Eee! anak pintar, nangis itu ceritanya ngasih tahu yah”. Meskipun menurut ukuran umum itu merupakan kesalahan tetapi kita tetap saja berlaku lembut dengan memujinya dan menjaga perasaannya agar tidak terluka.

Yang baru saja kita lakukan adalah “menyelesaikan masalah tanpa masalah” dan itulah tradisi sufi. Seandainya mereka terlihat apatis dan tidak peduli terhadap kemungkaran, sebenarnya mereka sedang mencoba menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru dengan metode yang halus namun efektif. Itulah sikap yang “Lathief”. Amar makruf pun dilakukan dengan cara yang halus. Sampai ada symbol bagi metode pengislaman ala walisongo yaitu “bulus” (kura-kura -bahasa Jawa) yang merupakan singkatan dari “melebu tapi alus” (masuk tetapi halus –Bahasa Jawa). “Lathief” mengedepankan “menyelesaikan masalah tanpa masalah”

Begitu pula sikap Allah kepada kita yang sering berbuat maksiat, sering mendurhakai bahkan menyalah gunakan nikmat Allah kepada kita. Tetapi tetap saja Allah bersikap “Lathief” dengan tak bosan-bosannya memberikan karunia kepada kita bahkan terkadang tanpa teguran sehingga kita merasa menjadi orang yang terpuji dan merasa telah berbuat yang benar.

Contoh lain ketika anak bayi yang sedang “khusyu” memegang pisau yang tajam yang dapat membahayakan dirinya. Kita ingin menyelamatkannya dari pisau itu, namun jika kita merebutnya, anak tersebut pasti menangis. Karena dia tidak mengetahui bahwa ada bahaya yang besar di balik memegang pisau itu, dan merebut pisau darinya merupakan tindakan penyelamatan dan kasih sayang baginya, tetapi yang jelas dia akan kecewa dan menangis jika kesenangannya direbut. Maka kita harus tetap mengedepankan sikap “Lathief” misalnya merayunya dengan kata-kata dan tindakan yang tidak tidak melukai hatinya tetapi efektif. Misalnya “anak pintar mama pinjam dulu yah pisaunya”. Karena merasa dipuji dan tidak direbut haknya, akhirnya anak tersebut menyerahkan pisau itu. sikap yang “Lathief” mengedepankan “win–win Solution”, jalan keluar yang memuaskan kedua belah pihak.

Begitu pula dengan kita. Jika titipan Allah (baik harta maupun anak) diambil kembali oleh Allah, kalau kita tidak dapat mempertahankannya harus kita yakini bahwa bisa jadi itu merupakan kasih sayang Allah yang ingin menyelamatkan hambanya dari bahaya. Tetapi terkadang kita sulit menerimanya.


Sumber asli : http://hekuro.wordpress.com/2008/09/16/ya-lathief/

Wednesday, June 17, 2009

JANGAN MERASA DIRI LEBIH MULIA DARI ORANG LAIN

Setiap orang yang beriman hendaknya jangan sampai suka memperlihatkan sikap tidak baik, merasa diri kita lebih mulia daripada orang lain. Ingin menghina pada orang lain. Ingin menghina kepada sesama, karena Allah telah berfirman : Wahai orang-orang yang beriman jangan suka menghina segolongan diantara kamu kepada golongan lainnya siapa tahu lebih baik yang dihina daripada yang menghina. Hal ini perlu mengapatkan perhatian kita sepenuhnya, sebab hal tersebut secara tidak sadar kita lakukan. Kadang-kadang dirasakan seperti becanda saja, padahal kalau tidak cepat bertobat, bisa menimbulkan dzolim. Artinya menjadi orang yang selalu merasa kegelapan. Gelap dalam arti pikiran dan perasaan. Masalah seperti ini dipandang penting dalah tarekat, sampai ada istilah Muroqobah. Itu gunanya untuk merasakan gerak-gerik kita. Mulai dari ucapan, kelakuan termasuk i'tikad. Jelas tentang hal ini jangan sampai disepelekan.

Seperti yang diterangkan dalam surat at-Taubat dalam al-Quran: Wa ammalladziina fii quluubiHim marodhun fazaadatHum rijsan ilaa rijsiHim wa maa tuuwaHum kaafirinn. Artinya : Orang-orang yang dalam hatinya berpenyakit, gerakan nafsu, ujub, riya, takabur, sombong, bohong, dzolim, khianat, jahat, dengki, benci dan seterusnya. Memang untuk menghina orang lain itu pekerjaan gampang tidak perlu repot-repot. Penyakit tersebut hampir tidak terasa, walaupun ia telah menyusup memasuki daerah perasaan kita. Tetapi kalau kita teliti dengan "kacamata rasa", baru kita menyadari bahwa perasaan kita sudah hampir ambruk. Sebab akibat lupa meneliti diri, bisa menimbulkan keinginan dalam hati untuk menghina orang lain. Padahal dirinya sendiri belum tentu benar. Pada dirinya sendiri banyak hal yang harus disingkirkan, yang pantas jadi ejekan, yang pantas ditiadakan, yang pantas dimusnahkan dan masih banyak kejelekan lainnya. Oleh karena itu sampai kita sempat melihat badan orang lain. Memang begitu lumrahnya, kotoran secuil pada badan orang lain kelihatan jelas, tapi badan sendiri sekujur tubuh penuh dengan kotoran yang menjijikan sama sekali tidak merasa. Lalau apa gunanya kita berdzikir? Kalau keadaan kita masih begitu juga. Padahal dzikir itu adalah sesuatu yang dapat menjadi garis pemisah antara yang baik dan yang jelek.

Dari ucapan saja sudah jelas, yaitu : Tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Allah Swt. Perintah ini benar-benar sudah jelas dengan ucapan yang nyata. Hasilnya hendaknya supaya berbekas pada amal, supaya tembus sampai i'tikad dengan benar-benar kokoh kuat, bisa memisahkan antara yang baik dan yang buruk. Dzikir dengan lisan, yang tembus ke dalam hati, langsung tembus ke rasa akan memperlihatkan hasil kebaikan yang nyata pada diri kita. Jangan pura-pura sedang dihadapan umum seperti bersahabat tidak memperlihatkan rasa benci tapi dibelakangnya sebaliknya. Jangan sampai begitu. Singkirkan sifat seperti itu. Untuk apa kita amalkan dzikir yang dua macam yaitu dzikir Jahar yang diucapkan dan dzikir khofi yang diingatkan. Kedua macam dzikir itu guna memberantas segala macam kesalahan. dari kesalahan besar, sedang dan kecil. Dari kesalahan yang terdengar sampai yang tidak kedengaran. Oleh karena itu harus bisa menjelmakan menjadi satu pendirian yang benar-benar Shaleh sehingga bisa menghindarkan diri dari amal yang tidak diridhoi Allah Swt.

SEMUA MILIK ALLAH

Semua yang ada di bumi ini, akan binasa. Dan yang tetap abadi hanyalah Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia. Termasuk kita manusia akan hancur binasa. Jadi mengapa merasa ingin memiliki. Semuanya milik Allah. Apalagi kalau milik Allah tersebut kita gunakan untuk hal-hal yang tidak baik seperti menghina orang lain sehingga timbul perselisihan, perkelahian sehingga membuat orang tidak senang. Oleh karena itu, kita harus pasrah dan terbuka. Yakinkan bahwa diri kita tidak punya apa-apa. Tidak pernah mengadakan apa-apa. Tidak pernah membantu apa-apa. Tidak pernah menambah apa-apa. Kita tidak kaya, buka miskin. Tidak pintar bukan bodoh. Semua pemberian Allah. Kita tidak punya dan tidak memiliki sesuatu. Coba bayangkan, kalau dalam hati kita ada sedikit saja rasa memiliki, apalagi sampai tidak terasa terucapkan, itu sama saja artinya dengan mengambil hak Allah.

Kita harus terus berpegang teguh kepada Allah yang Maha Kuasa. Agar mendapat perlindungan sepenuhnya dari-Nya. Penuh pertolongan Allah, penuh dengan petunjuk Allah, penuh dengan hidayah Allah, penuh dengan kasih Allah. Tapi sebaliknya, apabila AKU yang merasa, aku yang punya, itu artinya mengambil wewenang Allah. Akibatnya kita akan dipenuhi kebingungan, kesusahan. Meskipun kaya, pintar tapi hatinya penuh dengan kebingungan. Sebagai sorang mu'min, selamanya harus merasa gembira. Kenapa tidak? Seumur hidup merasa dipelihara oleh Allah. Jika tidak memiliki perasaan tersebut maka perasaan kita akan bingung dan susah selamanya. Semoga Allah mengampuni kita semua.

Bagi kita yang sedang belajar tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah Suryalaya, mari intropeksi diri. Tingkatkan amal ibadah kita sehingga kita menjadi hamba-Nya. Koreksi diri, sehingga bisa memisahkan yang baik dan yang buruk. Tumbuhkan rasa saling menghormati, menyayangi, tolong menolong supaya kita berada dalam ridhonya. Tidak ada jalan lain kecuali dengan menggunakan dzikir sebagai alatnya. Fainna dzikro saeful mu'miniin. Sesungguhnya dzikir itu pedangnya orang-orang yang beriman. Dzikir itu untuk membasmi, menyingkirkan segala godaan syetan, bujukan nafsu yang datangnya dari luar dan dalam. Setelah kita memiliki senjatanya, tinggal digunakan dengan sebaik-baiknya. insya Allah terbuka pintu kebahagiaan dunia dan akhirat. amin ya robbal 'alamiin.


Khidmat Manaqib Juni 2007

PonPes Suryalaya

(Sumber asli : http://suryalaya.org)

DZIKRULLAH MENGGAPAI MAHABBAH

"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan". (QS. At-Taubah : 20)

"HUB" atau cinta adalah suatu gejala emosi yang tumbuh dan bergelora dalam jiwa dan hati manusia, diliputi oleh rasa keinginan dan hasrat yang keras dan meluap-luap terhadap sesuatu hal. Hub atau cinta dapat terjadi pada semua orang dan disemua bidang. Misalnya kepada harta, perniagaan, anak, kepada orang tua (ibu/bapak), dan lain-lain. Cinta kepada semuanya ini tidak dilarang dalam Islam.

Seperti firman Allah Swt. dalam surat at-Taubah ayat 24 : "Katakanlah : "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya..." dan surat Ali 'Imran ayat 14 : "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik".

Ulama atau Cendikiawan Muslim menyimpulkan makna cinta kepada Allah adalah seseorang menghadapkan dan menyerahkan dirinya, urusannya dan eksistensinya kepada Allah secara total, bertawakal kepada-Nya, lebih mengutamakan ketaatan kepada-Nya daripada dirinya sendiri, harta, anak dan tahta dan puncak tujuannya adalah Allah Swt. Dari pengertian ini jelaslah bahwa kecintaan kepada Allah hendaklah diwujudkan dalam bentuk :

  • Menghadap dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah
  • Bertawakal kepada Allah
  • Memohon ridho Allah
  • Mengutamakan ketaatan kepada-Nya.

Hal ini sesuai dengan ikrar yang selalu diucapkan setiap Muslim dalam shalatnya : Inna sholaatii wanusukuu wamahyaaya wamamaati lillaahi robbil 'aalamiin. Dan ikrar yang selalu diucapkan kaum sufi / Ikhwan TQN : Ilaahii anta maqshuudii waridhooka mathluubii a'thinii mahabbataka wama'rifataka.

Sudah barang tentu bila seseorang cinta kepada sesuatu, maka sebagian besar pikirannya, ingatan dan perhatiannya tertuju kepada yang dicintainya itu. Timbul perasaan rindu, kagum, hormat, respek dan lain-lain terhadap yang dicintainya. Begitu pula kecintaan kepada Allah, menjadikan seseorang taat kepada-Nya dan patuh melaksanakan segala perintah-Nya dengan penuh keikhlasan, yang berat terasa ringan, yang jauh terasa dekat dan yang pahitpun terasa manis dan nikmat, bila rasa cinta telah tertanam di hati. Seperti nabi Ibrahim As. Karena kecintaannya kepada Allah, ia rela mengorbankan putera kesayangannya Ismail As. untuk disembelih, juga Ismail rela menyerahkan dirinya untuk dikorbankan, karena cintanya kepada Allah Swt.

Begitu pula kisah tentang seorang ibu bernama Siti Khansa, di zaman Rasulullah Saw. relah melepaskan empat anak laki-lakinya untuk ikut berperang bersama Rasulullah Saw. membela agama Islam seraya memberikan do'a restu kepada anak-anaknya : "Kamu berempat adalah anak laki-laki yang lahir dari perut ibumu. Berangkatlah ke medan Jihad dan tancapkanlah ke dalam hati kamu bahwa kehidupan yang kekal dan abadi (akhirat) jauh lebih bahagia dari kehidupan di alam fana ini". Dalam pertempuran tersebut, keempat anaknya gugur sebagai syuhada.

"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan". (QS. At-Taubah : 20). Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dasar segala amal ibadah. Sebagaimana dikatakan Ibnul Qoyyim : Pokok ibadah adalah cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan cinta hanya kepada-Nya. Hendaklah semua itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai hanyalah kepada Allah dan di jalan Allah.

Dari pendapat tersebut, jelahlah bahwa erat hubungannya antara ibadah dengan cinta kepada Allah. Penghambaan (ibadah) seseorang kepada Allah adalah diawali rasa cinta yang mendalam kepada-Nya. Tidak ada yang lebih berhak untuk dicintai melainkan Allah. Dialah Tuhan yang memberikan nikmat yang sangat banyak kepada kita. Kemudian kecintaan kepada Allah berpengaruh pula bagi pembentukan akhlaq manusia. Artinya dengan kecintaan kepada Allah, maka manusia akan berusaha mengutakaman perbuatan-perbuatan baik dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela, seperti mencela, memfitnah, menghasut, dengki dan lain-lain.


Khidmat Manaqib 15 Januari 2008

PonPes Suryalaya

(Sumber asli : http://suryalaya.org)

BENTENGI DIRI DENGAN LAA ILAAHA ILLALLAH

Godaan Iblis terhadap Nabi Adam As. patut kita jadikan contoh, betapa dahsyatnya godaan dan bujukan Iblis tersebut sehingga Adam dan Hawa harus turun ke bumi bersama dengan Iblis menjadi musuh untuk selamanya. Apa yang kurang dari Nabi Adam As.? Pangkatnya Nabi dan Rasul pertama, jabatannya Kholifatul fil ardh, Wakil Allah di muka bumi, ilmunya tinggi, sehingga para Malaikatpun bersujud kepadanya untuk memenuhi perintah Allah kecuali salah seorang diantaranya yang menganggap dirinya lebih baik dari Adam. Kekayaannya, Adam dipersilahkan menikmati semua yang ada di "surga" kecuali popon khuldi. Tetapi ... karena bujuk rayu Iblis yang begitu kuat, akhirnya Adam dan Hawa melanggar perintah Allah. Lihatlah diri kita, pangkat apa yang kita punya, jabatan apa yang kita miliki, kekayaan dan ilmu apa yang kita simpan? Iblis tetap akan menggoda kita, dan kita dipastikan akan terbujuk, tergelincir, tergoda sehingga melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya atau sebaliknya tidak mau melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Banyak cara dilakukan oleh manusia untuk menjaga diri, keluarga, harta, jabatan, pangkat, kedudukan dan lain-lainnya. Seperti rumah tempat tinggal kita ditempeli dengan ayat-ayat Qur'an misalnya Ayat Kursi. Supaya tidak dibisa dimasuki maling, misalnya. Ayat Qur'an yang ditempel di dinding rumah kita, bisa jadi membuat syetan emoh masuk ke rumah kita. Tapi syetan itu pintar. Ketika rumah kita di tempeli ayat Qur'an, dia melihat yang punya rumahnya TIDAK DITEMPELI AYAT QUR'AN. Maka ... kitalah yang kemudian dimasuki syetan, Na'udzu billahi min dzaalik. Selanjutnya bisa ditebak, kita menjadi temannya. Parahnya lagi, tidak hanya syetan saya yang masuk ke dalam diri dan hati kita, tapi juga dunia dan segala isinya masuk ke dalam hati kita.

Mobil masuk ke hati, sehingga ketika mobil itu hilang atau dicuri, maka hati kita menjadi sakit. Keluarga di masukkan ke dalam hati, sehinga ketika salah seorang diantara mereka meninggalkan kita, hati kita menjadi sakit. Pangkat dan jabatan serta kedudukan, dimasukkan pula ke dalam hati, sehingga ketika hal tersebut tidak lagi ada pada diri kita, maka hati kita menjadi sakit dan seterusnya. Tetapi ... APAKAH kita pernah MERASA SAKIT ketika ALLAH HILANG DALAM HATI KITA? Kita seharusnya terus bersyukur karena telah bertemu dengan Pangersa Abah Anom yang telah menempelkan al-Qur'an ke dalam diri kita, ke dalam ruh kita, menempelkan Ismu dzat ke dalam hati kita. Bukan berarti tidak boleh mencari dunia, silahkan saja tapi jangan sampai dunia itu dimasukkan kedalam hati kita, cukup Allah saja yang ada di dalam hati ini.

Sekali lagi, mari kita bersyukur kepada Allah, karena melalui Pangersa Abah, kita diajarkan untuk selalu mengisi hati kita dengan dzikrullah, membetengi diri kita dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah, menuntun kita untuk selalu beribadah, memberikan contoh kepada kita untuk hidup bahagia di dunia juga sejahtera di akhirat. Kalau begitu, apa yang sudah kita berikan untuk Suryalaya? Jangan hanya omong saja yang besar, retorika saja yang begitu menarik tapi kosong dari realitas. Mari kita buktikan pengabdian kita kepada Pangersa Abah Anom, kepada pesantren Suryalaya di mana saja kita berada dengan tenaga, harta, pikiran, dengan diri yang dilandasi keikhlasan. Amin ya robbal 'alamiin.


Khidmat Manaqib 7 September 2008

PonPes Suryalaya

(Sumber asli : http://suryalaya.org)

KERUGIAN ORANG YANG LUPA KEPADA ALLAH

Wahai saudaraku, jauhilah maksiat, sebab terkadang ia menjadi penyebab tertutupnya rezeki bagimu. Jangan engkau melalaikan dzikir dan ketaatan, sebab adakalanya ia menjadi penyebab padamnya mata hati dan keterputusan dari Allah. Allah berfirman : "Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri, rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai" (QS. al-A'raf : 205). Ketahuilah, orang yang menggunakan kesehatan dan msa mudanya untuk bermaksiat kepada Allah, maka perumpamannya adalah seperti diwarisi ayahnya uang yang banyak, lalu ia belikan ular, kalajengking, serta berbagai binatang berbisa lainnya, lalu meletakkan semuanya di kamar tidur, makan yang satu mematuknya, yang lain menyengatnya, dan ada juga yang menggigitnya. Bukankah mereka membunuhnya?

Maka, perumpamaanmu adalah tak ubahnya seperti burung-burung pemangsa daging yang terbang berkeliling di atas bangkai-bangkai berserakan. Mereka mencarinya, dan begitu menemukannya mereka pun langsung turun dan menggayangnya dengan badannya yang besar dan sayapnya yang kuat, tinggi terbangnya dan tajam matanya. Tapi karena sasarannya berada di tempat sangat rendah, maka seringkali ia harus merosot turun ke bawah sehingga jatuh ke dalam kotoran-kotoran. Wahai saudaraku, jadilah engkau seperti lebah, kecil tubuhnya, pendek sayapnya, jarang terbangnya, tetapi semangatnya besar, jiwanya tinggi dan tidak hinggap kecuali pada bunga-bunga, hanya mengisap sari bunga nan wangi, mengeluarkan madu nan lezat dan hanya berbuat kebajikan. Jiwa-jiwa itu agung, maka untuk memenuhi kehendaknya tubuh-tubuh pun merasa senang.

Wahai saudaraku, lama sekali engkau berliku-liku di negeri ujian, diuji dengan musibah, didera dengan cambuk, agar engkau sadar dari kelupaanmu, bangun dari tidurmu, kembali kepada Tuhanmu, dan bebas dari dosamu. Tetapi, ujian itu tak akan berguna bagimu sedikitpun. Karena memang ujian itu sebenarnya bukan untuk orang yang sudah lupa (sepertimu), yang sedikitpun tak bisa menerima nasihat. Karena seorang wanita yang tak waraspun menyembelih anaknya di kamar sambil makan-makan dan tertawa, tidak menyadari apa yang sedang terjadi, tidak peduli dengan apa yang menimpanya.

Begitu juga engkau, engkau telah ditimpa berbagai musibah, seperti terlewatkannya bangun malam, tidak merasakan nikmatnya dzikir, hilang lezatnya bacaan al-Qur'an, meremehkan pemenuhan kewajiban, bebal dan tidak sedih, tidak menyesal, tetapi engkau malah banyak makan, tertawa, dan bersenang-senang. Semua itu terjadi karena kelalaian telah memadamkan hatimu, mematikan cahaya hatimu yang paling padam, merampas manisnya iman dari jiwamu, sehingga engkau tak lagi bisa membedakan antara yang berbahaya dan bermanfaat.

Orang hidup pasti terperanjat ketika ditusuk jarum ataupun duri, sementara mayat tidak merasakan apa-apa meski disayat-sayat pedang atau gergaji. Maka, jika engkau tidak bersedih atas terlewatkannya dzikir dan ketaatan, tidak bersedih setelah maksiat, maka engkau adalah orang mati hati, tak bernurani, tidak dapat membedakan antara kebaikan dan kejahatan, antara kebahagian dan kesedihan, tidak mengenal mana yang bermanfaat dan yang membahayakan.

Karena itu wahai saudaraku, tangisilah dirimu, berupayalah untuk membangunkan dan menghidupkan hatimu, mendekatkan dirimu dengan guru (musryid), duduklah di majelis dzikir, ilmu dan hikmah. Sebab di situ ada wangi dari tiupan surga, engkau akan menemukannya setelah bubar dari mejelis, dalam jalan hidupmu, di kampus, di toko, di rumah, atau sambil bersua bersama keluarga. Janganlah engkau lewatkan majelis-majelis dzikir, ilmu dan hikmah. Janganlah engkau katakan tidak ada gunanya hadir di majelis kebaikan dan ketaatan, karena aku telah terjerumus ke dalam dosa-dosa, dan aku tak kuasa meninggalkannya.

Karena perkataan seperti itu adalah dari bisikan syetan yang terkutuk, yang rasukannya ke dalam jiwa dimaksudkan agar seorang mukmin terhalang dari kebaikan. Tetapi yang berburupun tetaplah wajib memanah. Jika engkau mendapatkan buruannya hari ini, maka hari esokpun masih ada, dan jangan engkau putus asa dari rahmat Allah. Allah berfirman : Katakanlah :" wahai hamba-hambaku yang melapaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. al-Zumar : 53)...


Khidmat Manaqib 8 Agustus 2008

PonPes Suryalaya

(Sumber asli : http://suryalaya.org)

BERSUJUD KEPADA ALLAH

"Ya Allah, aku memohon pada-Mu agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, mencintai apa-apa yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu. Ya Allah, jadikanlah mencintai-Mu lebih aku cintai daripada mencintai diriku, keluargaku dan daripada mencintai air yang segar"

Bulan Rajab dimuliakan oleh Allah Swt. Inilah bulan yang dipenuhi dengan shalat. Semoga shalat yang kita dirikan bisa menjadikan kita mi'raj secara ruhani. Setiap hari kita ikrarkan :WajjaHtu wajhiya lilladzii fathoros samaa waati wal ardh.Pangersa Abah telah mengajarkan dan membimbing kita bagaimana supaya hati ini selalu ingat kepada Allah, menghadap kepadanya, bertawajuh dalam setiap keadaan.

Menghadapkan wajah kita ke Ka'bah baitullah dalam shalat telah diatur dalam ilmu fiqih. Sedangkan ulama ahli dzikir dalam Tafsir 'Isyari mengatakan bahwa menghadapkan wajah dalam ayat tersebut adalah menghadapkan hati kita kepada Allah Swt. Alhamdulillah, kita telah dipertemukan dengan Pangersa Abah Anom sehingga kita bisa melaksanakan shalat secara jasmani dan shalat secara ruhani. Meskipun, lebih banyak lupanya kepada Allah dari pada ingatnya.

Mendekatkan diri kepada Allah (Taqorrub ilalah) diperintahkan oleh Allah dalam surat al-'Alaq ayat terakhir (19): ... wasjud waqtarib (... Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). Sujud secara syariat menurut ilmu fiqih adalah tujuh anggota badan kita dihadapkan ke kiblat yaitu dahi menempel ke bumi, 2 telapak tangan, 2 lutut dan 2 kaki yang jari-jarinya dihadapkan ke kiblat. Tapi apakah dalah sujud tersebut kita sudah dekat dengan Allah? Pangersa Abah dalam kitabnya Miftahus shuduur menerangkan tentang makna dekat (taqorrub, qurbah) seorang hamba kepada Allah. Seseorang dikatakan jauh dari Allah bukan karena jaraknya yang jauh tapi lupa kepada Allah itulah jauh. Dan dekat kepada Allah juga bukan diukur dengan jarak. Dimana hati seseorang ingat (hadhir) kepada Allah (tawajuh), berarti dia sedang dekat kepada Allah. Sehingga ada orang yang sujud badannya, sujud pula hatinya (ingat kepada Allah). Ada pula orang yang tidak sedang sujud badannya (sedang di pasar, di kantor, di kebun dll.) tapi hatinya selalu ingat kepada Allah maka dia sedang dekat kepada Allah. Ada pula orang yang sujud badannya tapi tidak ingat hatinya kepada Allah berarti dia lupa kepada Allah, tidak dekat kepada Allah. Alhamdulillah, kita telah ditunjukkan oleh Pangersa Abah untuk menjadi orang yang pertama dan kedua.

Rasulullah Saw. bersabda : Posisi seorang hamba yang terdekat antara dia dan tuhannya yaitu ketika bersujud.


Khidmat Manaqib 9 Juli 2008

PonPes Suryalaya

(Sumber asli : http://suryalaya.org)