Monday, July 6, 2009

Yaa Lathief

“Lathief” sebagai anggota “Dewan Perwakilan Rakyat” dari Partai Asma’ul Husna.

Uqudul Juman berasal dari bahasa arab yaitu uqud dan Juman. “Uqud” merupakan bentuk jamak dari “Aqd” yang artinya ikatan, rangkaian. Sedangkan “juman” merupakan bentuk jamak dari “Jumanah” yang berarti mutiara. Berarti “uqudul Juman” artinya rangkaian mutiara karena memang berbagai bacaan yang terkandung dalam Uqudul Juman adalah merupakan mutiara-mutiara yang tinggi nilainya.

Uqudul Juman adalah kitab kecil yang muatan kandungannya sangat besar dan bermanfaat bagi yang mengamalkannya, merupakan salah satu buah karya KH Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, seorang sufi dari Tasikmalaya.

Mutiara yang terkandung dalam Uqudul Juman antara lain adalah Al-Qur’an misalnya surat Al-Ikhlash, Tahmid dengan membaca Fatihah, Tasbih misalnya “Lailaha illa Anta Subhanaka inni kuntu minadzhalimin” Shalawat misalnya shalawat Ummi, Istighfar, Asma’ul Husna dan lain-lain.

Adapun yang mewakili Asmaul Husna dalam Uqudul Juman adalah kata “Lathief” yang berarti yang Maha Lembut. Rahasia mengapa yang dicantumkan dalam Uqudul Juman adalah kata “Lathief” dan mengapa jumlahnya 16641 yang mengetahui tentunya adalah sang Pengarang. Adapun kita hanya bisa meraba apa rahasia dibalik semua itu.

Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa “Lathief” merupakan ringkasan dari 99 Asma’ul Husna, jadi “Lathief” dapat digunakan untuk mewakili Asma’ul Husna.

Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat tersebut yang jelas “Lathief” mewakili Asma’ul Husna bukan hanya pada Uqudul Juman saja tetapi juga pada wirid lainnya seperti Tahlil, Ilmu Shalawat 44342 dan lain-lain. Di samping itu kalimat yang berada di tengah Al-Qur’an adalah “walyatalatthaf” (dan hendaklah bersikap lembut. Q.S. Al-Kahfi : 19) yang berasal dari akar kata yang sama dengan “Lathief” yaitu “Luthfu”.

Makna “Lathief”

Dalam bahasa Arab jika ada dua kata yang terdiri dari huruf yang sama biasanya memiliki kaitan yang erat. Misalnya kata Ilmu (’ain, lam, mim) dengan amal (’ain, mim, lam). Ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak berbuah, sedangkan amal tanpa ilmu tidak akan sempurna, sehingga ilmu tidak boleh dipisahkan dengan amal. Contoh lain “mar’atun” (artinya perempuan) dengan mir’atun (artinya cermin). Artinya bahwa wanita tidak boleh jauh dari cermin, karena salah satu ciri wanita shalihah adalah jika engkau melihatnya membuatmu senang artinya enak dan tentram dipandang. Contoh lainnya adalah rojulun (laki-laki) dengan rijlun (kaki), seorang lelaki harus mengandalkan kakinya artinya harus dinamis, kreatif dan inovatif, bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah, rajin mencari wawasan, tidak hanya statis dan banyak berdiam di rumah. Sebagaimana tertera dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah ayat 10)

Begitu pula “Luthfun” (lam, tha, fa yang artinya kelembutan) dengan “Thiflun” (tha, fa, lam yang artinya anak bayi) memiliki kaitan yang erat. Artinya bahwa jika kita ingin mengetahui kelembutan, maka lihatlah sikap kita terhadap anak bayi, pasti kita bersikap lembut.

Contohnya jika kita baru saja selesai mengepel lantai lalu anak kita membuang air besar di lantai yang bersih kemudian menangislah ia, maka sikap kita bukannya memarahi anak tersebut tetapi malah memujinya misalnya dengan kata-kata “Eee! anak pintar, nangis itu ceritanya ngasih tahu yah”. Meskipun menurut ukuran umum itu merupakan kesalahan tetapi kita tetap saja berlaku lembut dengan memujinya dan menjaga perasaannya agar tidak terluka.

Yang baru saja kita lakukan adalah “menyelesaikan masalah tanpa masalah” dan itulah tradisi sufi. Seandainya mereka terlihat apatis dan tidak peduli terhadap kemungkaran, sebenarnya mereka sedang mencoba menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru dengan metode yang halus namun efektif. Itulah sikap yang “Lathief”. Amar makruf pun dilakukan dengan cara yang halus. Sampai ada symbol bagi metode pengislaman ala walisongo yaitu “bulus” (kura-kura -bahasa Jawa) yang merupakan singkatan dari “melebu tapi alus” (masuk tetapi halus –Bahasa Jawa). “Lathief” mengedepankan “menyelesaikan masalah tanpa masalah”

Begitu pula sikap Allah kepada kita yang sering berbuat maksiat, sering mendurhakai bahkan menyalah gunakan nikmat Allah kepada kita. Tetapi tetap saja Allah bersikap “Lathief” dengan tak bosan-bosannya memberikan karunia kepada kita bahkan terkadang tanpa teguran sehingga kita merasa menjadi orang yang terpuji dan merasa telah berbuat yang benar.

Contoh lain ketika anak bayi yang sedang “khusyu” memegang pisau yang tajam yang dapat membahayakan dirinya. Kita ingin menyelamatkannya dari pisau itu, namun jika kita merebutnya, anak tersebut pasti menangis. Karena dia tidak mengetahui bahwa ada bahaya yang besar di balik memegang pisau itu, dan merebut pisau darinya merupakan tindakan penyelamatan dan kasih sayang baginya, tetapi yang jelas dia akan kecewa dan menangis jika kesenangannya direbut. Maka kita harus tetap mengedepankan sikap “Lathief” misalnya merayunya dengan kata-kata dan tindakan yang tidak tidak melukai hatinya tetapi efektif. Misalnya “anak pintar mama pinjam dulu yah pisaunya”. Karena merasa dipuji dan tidak direbut haknya, akhirnya anak tersebut menyerahkan pisau itu. sikap yang “Lathief” mengedepankan “win–win Solution”, jalan keluar yang memuaskan kedua belah pihak.

Begitu pula dengan kita. Jika titipan Allah (baik harta maupun anak) diambil kembali oleh Allah, kalau kita tidak dapat mempertahankannya harus kita yakini bahwa bisa jadi itu merupakan kasih sayang Allah yang ingin menyelamatkan hambanya dari bahaya. Tetapi terkadang kita sulit menerimanya.


Sumber asli : http://hekuro.wordpress.com/2008/09/16/ya-lathief/